Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biografi Karya dan Pemikiran Suhrawardi Sang Filsuf

Biografi Karya dan Pemikiran Suhrawardi Sang Filsuf

A. Biografi Suhrawardi


Suhrawardi merupakan salah seorang filosof yang beraliran illumination. Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Yahya Ibn Amirak Abu al-Futuh Suhrawardi. Ia lahir di sebuah kota kecil yang bernama Suhraward di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M. Ia wafat di Aleppo pada tahun 587 H/1191 M.Sejak kecil ia sudah rajin belajar secara tekun seperti halnya para ilmuwan sebelumnya. Ia pernah belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal yang bernama Majduddin al-Jaili, guru Fakhruddin al-Razi. Kemudian di Isfahan dia belajar logika kepada Ibnu Sahlan al-Sawi, penyusun kitab Al-Basha’ir al-Nashiriyyah. Selain itu ia juga banyak bergaul dengan para sufi, hingga ia puas bergaul dengan mereka, ia pun pergi ke Halb dan belajar keapada al-Syafir Iftikharuddin. Di kota ini namanya mulai terangkat, akhirnya ia pun terkenal akan keilmuannya. Hal ini membuat para fuqaha iri terhadapnya, dan ada pula yang ingin mengecamnya. Atas dasar ini, ia segera dipanggil Pangeran al-Zhahir putranya Salahuddin al-Ayubi, ketika itu bertindak sebagai penguasa di Halb. Pangeran kemudian melangsungkan suatu pertemuan dengan dihadiri para teolog maupun fuqaha. Di sini ia mengemukakan argumen-argumentasinya yang kuat, karena terlihat sebuah aura kepintaran dari diri Suhrawardi, akhirnya al-Zhahir menjadi dekat dengannya, dan ia pun diberi sambutan yang baik dari al-Zhahir.

Keberhasilan Suhrawardi melahirkan aliran Illuminasionis ini berkat penguasaannya yang mendalam tentang filsafat dan Tasawuf ditambah kecerdasannya yang tinggi, dalam kitab Thabaqat al-Athiba’ menyebutkan bahwa Suhrawardi sebagai seorang tokoh pada jamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu-ilmu Filsafat, sangat memahami Ushul Fiqih, begitu cerdas pikirannya, dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.

Saat di Aleppo di usianya yang masih belia, Suhrawardi telah menguasai pengetahuan filsafat dan tasawuf begitu mendalam serta mampu menguraikannya secara baik. Bahkan, Thabaqat al-Athibba’ menyebut Suhrawardi sebagai tokoh zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat, memahami ushul fiqih, begitu cerdas dan begitu fasih ungkapannya. Semua itu membuat lawan-lawannya atau pihak yang tidak menyukainya semakin iri dan dendam. Karena itu, semakin tidak berhasil mempengaruhi pangeran Zahir, para fuqaha yang dengki berkirim surat langsung pada Sultan Shalah al-Din dalam memperingati tentang bahaya kemungkinan tersesatnya akidah sang pangeran jika terus bersahabat dengan Suhrawardi. Shalah al-Din sendiri yang terpengaruh isi surat segera memerintahkan putranya untuk menghukum mati Suhrawardi.

Karena kepiawaian Suhrawardi mengeluarkan pernyataan doktrin esoteris yang tandas, dan kritik yang tajam terhadap ahli-ahli fiqih menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu al-Barakat al-Baghdadi yang anti Aristetolian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M di Halb (Aleppo) Suhrawrdi di eksekusi atas desakan fuqaha kepada pangeran Malik al-Zhahir Syah anak dari sultan Shalahuddin al-Ayyubi al-Kurdi.

Karena ketenarannya dan popularitasnya di kala itu, hal tersebut membuat sebagian orang menjadi dengki terhadapnya, akhirnya orang-orang yang dengki melaporkan kepada Salahuddin al-Ayubi dengan sebuah peringatan bahwa ”jika al-Zhahir terus menerus bergaul dengan Suhrawardi maka akan sesat aqidah yang dimilikinya. Setelah mendengar asutan-asutan dari orang-orang dengki tersebut, akhirnya Shalahuddin terpengaruh dan memerintahkan putranya untuk segera membnuh al-Suhrawardi. Setelah putranya meminta pendapat para fuqaha Halb, mereka menyetujui agar Suhrawardi di bnuh, al-Zhahir pun memutuskan agar al-Suhrawardi dihukum gantung. Penggantungan ini berlangsung pada tahun 587 H di Halb, ketika al-Suhrawardi baru berusia 38 tahun.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa; Proses kematian itu diawali dengan permintaan para ulama yang meminta Malik al-Zahir agar menjatuhkan hukuman mati kepada al-Suhrawardi, namun permintaan itu ditolak. Para ulama kemudian menemui Sultan Saladdin (Sultan Salahuddin al-Ayubi) untuk menyampaikan dakwaan itu. Sultan Saladdin lalu mengancam putranya (Pangeran Malik al-Zahir Ghazi) akan diturunkan dari tahta apabila tidak menghukum al-Suhrawardi. Berkat turun tangannya Sultan Saladin, al-Suhrawardi kemudian dimasukkan ke dalam penjara pada tahun 1191 M. Dalam penjara itulah, al-Suhrawardi wafat. Dalam hal ini  yang mengatakan bahwa ia wafat karena lehernya dicekik dan ada pula yang mengatakan bahwa ia wafat karena tidak diberi makan hingga kelaparan.

Ia wafat secara tragis melalui eksekusi atas perintah Shalahuddin Al-Ayubi. oleh sebab itu ia di beri gelar al-Maqtul (yang dibnuh), sebagai pembedaan dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu al-Najib al-Suhrawardi (meninggal tahun 563 H) dan Abu Hafah Syihabuddin al-Suhrawardi al-Baghdadi (meninggal tahun 632 H), penyusun kitab Awarif al-Ma’arif.

B. Karya-karya Suhrawardi


Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof sekaligus sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya kurang lebih 50 karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.

Sayyed Hussein Nasr mengklasifikasikan karya-karyanya menjadi lima kategori:

1. Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik serta hikmah  isyraqinya, dalam kelompok ini antara lain kitab: al-Talwihat, al-Muqawamat, al-Mutharahat, Hikmahal-Ishraq.
2. Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami baik yang berbahasa arab ataupun yang berbhasa persi: al-Lamhat, Hayakil al-Nur, Risalah fi al-Ishraq.
3. Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang-lambang yang sulit dipahami, dalam hal ini menggunakan bahasa persi walaupun ada sebagian yang berbahasa arab: al-Aql al-Ahmar, al-Gharb al-Gharbiyah, yaumun ma’a jama’at as-sufiyyin dan lain-lain.
4. Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik: Risalah al-Thair, dan risalah fi haqiqah al-ishq, ini semua karya Ibn sina yang kemudaian di terjemahkan oleh Suhrawardi kedalam bahasa Persia.
5. Karya yang berupa serangkaian doa-doa, yang dikenal dengan kitab al-Waridat wa al-Taqdisat.

Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ke ilmuan yang mendalam tentang filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi sebelumnya. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).

Al-Suhrawardi merupakan seorang penulis, walaupun usianya muda, tetapi banyak juga karya-karya dari hasil ciptaannya. Ia juga dikenal sebagai salah satu seorang filosof muslim yang handal dalam membuat sebuah ungkapan-ungkapan dari pikirannya sendiri.

Di samping itu, al-Suhrawardi juga mampu memadukan antara filsafat Aristoteles dan filsafat iluminasi yang ia kembangkan sebagai basis ulama filsafat dan tasawufnya. Dengan paduan ini, Suhrawardi menganggap bahwa seorang pengkaji teologi lebih unggul daripada seorang pencinta  Tuhan an sich. Hal ini dapat kita lihat dalam ungkapannya, ”jika dalam waktu yang sama seseorang menjadi pencinta Tuhan dan pengkaji teologi, dirinya telah menduduki derajat kepemimpinan (riyasah). Jika tidak dapat memadukannya, derajatnya hanyalah seorang pengkaji teologi atau seorang pencita Tuhan, tetapi tidak mengkaji-Nya. ”pemikiran inilah yang menggambarkan bahwa Suhrawardi bukanlah seorang sufi murni, melainkan seorang sufi dan sekaligus filsuf, bahkan sangat dekat dengan para filsuf peripatetik yang sering diserangnya.

Kemudian al-Suhrawardi membuat banyak karya, dan dari karya-karyanya dibagi menjadi tiga bagian, antara lain :

1. Karya Pertama adalah Kitab induk Filsafat Iluminasinya, antara lain :

a. Al-Talwihat (Pemberitahuan),
b. Al-Muqawwamat (Yang Tepat),
c. Al-Masyari wa Al-Mutarahat (Jalan dan Pengayoman),
d. Al-Hikmah Al-Isyraq (Filsafat Pencerahan).

Karya Hikmah al-Ishraq memuat tiga subyek yang mendasari bangunan filsafat iluminasinya, yaitu:

1) Mengenai alasan-alasan Suhrawardi menyusun Hikmat al-Ishraq.

2) Metodologi Hikmat al-Ishraq, yang terdiri atas empat tahap, yaitu:

a) Aktifitas-aktifitas diri seperti menasingkan diri, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk menerima ilham. Dalam hal ini filosof dengan kekuatan intuisinya dapat merasakan “Cahaya Tuhan” dan “Penyikapan Diri”.
b) Tahap dimana Tuhan memasuki wujud manusia.
c) Tahap pembangunan suatu ilmu yang benar.
d) Tahap penulisan atau menurunkan hal-hal yang mendasari bangunan filsafat iluminasi.

3) Memuat hal-hal yang mendasari bangunan filsafat iluminasi, yaitu pandangan Suhrawardi tentang sejarah filsafat.

2. Karya Kedua adalah risalah ringkas filsafat, antara lain:

a. Hayakil al-Nur (Rumah Suci Cahaya)
b. Al-Alwah al-Imadiyah (Lembaran Imadiyah)
c. Partaw-Namah (Uraian Tentang Tajalli),
d. Bustan al-Qulub (Taman Kalbu). Selain berbahasa Arab, risalah ini ada juga yang ditulis dalam bahasa Persia.

3. Karya ketiga berupa kisah perumpamaan, antara lain:

a. Qishshah al-Gurbah al-Garbiyyah (Kisah Pengasingan ke Barat)
b. Risalah al-Thair (Risalah Burung), Buku ini banyak membahas karya Ibnu Sina, yakni kitab Isyyarah wa  Tanbihat
c. Awzi Parii Jibra’il (Suara Sayap Jibril)
d. Aqli-surkh (Akal Merah)
e. Ruzi ba Jama’ati Sufiyan (Sehari dengan Para Sufi)
f. Fi Haqiqah al-Isyaq (Hakikat Cinta Ilahi), Pembahasan buku ini juga tentang filsafat Masyriqiyah Ibnu Sina
g. Fi Halah al-Thufuliyyah
h. Lugah al-Muran (Bahasa Semit)
i. Safiri Simurgh (Jerit Merdu Burung Pingai). Kisah ini memiliki nilai sastra yang tinggi.

C. Pemikiran Suhrawardi


Suhrawardi hidup pada masa yang sangat tidak kondusif untuk terjadinya pemikiran bebas, ia hidup pada abad ke 6 H, di mana pengaruh pengkafiran al-Ghazali masih sangat kentara, pemikiran rasional maupun irasional Syiah sangat di tentang saat itu. Keaadan ini yang menjadikan Suhrawardi mendapat gelar al-Maqtul yang berarti dibnuh, karena pemikirannya yang bertentangan dengan ideologi negara yang dianut saat itu.

Penaklukkan Ayubiyah atas Fathimiyah yang berarti kemenangan negara Sunni terhadap negara Syiah menjadikan terjadinya gerakan sunnisasi di kawasan sentral Syiah. Kawasan-kawasan yang mulanya merupakan kawasan perkembangan pemikiran syiah, berhasil dirubah menjadi kawasan sentral pemikiran Sunni, dan kedatangan suhrawardi setelah adanya pergeseran ideologi di kawasan tersebut. Kutipan dari Kitab al-Tazkari karya Syayid Husain Nasr ini, menunjukan latar belakang pemikiran Suhrawardi adalah untuk mengembalikan ideologi di kawasan Sunni yang dulunya berideologi Syiah.

Suhrawardi juga hidup ketika terjadi perseteruan antara Ayubiyah dan Saljuk dan ketika runtuhnya Abbasiyah di tangan Holako, pada saat itu itegrasi peradaban Islam sudah hampir tidak bisa lagi untuk dipertahankan, peradaban Islam bukan lagi peradaban sentral yang integral. Negara-negara Islam pada masa ini mulai tidak terpusat, mereka terpecah dan saling bermusuhan. Negara-negara Islam pada masa ini tidak menyatu dan saling melengkapi lagi, sehingga sangat sulit untuk menyelamatkan peradaban.

Semua bentuk revolusi sosial pada waktu itu tidak lagi bernuansa positif rekonstruktif, orientasi manusia pada saat itu sudah banyak bergeser kepada dunia material. Suhrawardi sangat mewaspadai terhadap alam materi, alam materi hanya sebuah ilusi, sedang yang utama adalah alam immateri. Tugas dari kehidupan adalah menyibukkan diri dengan problem ukhrawi bukan mengengelamkan diri pada kehidupan duniawi.

Kondisi semacam itu tidak sepenuhnya menggiring Suhrawardi hanyut pada kondisi realita. Ia sebagai pembaharu umat, tertuntut untuk berupaya menyelasaikan problem-problem tersebut. Kontruksi pemikirannya tidak sepenuhnya bersifat negatif terhadap fenomena sosial, melainkan terkesan sebagai tawaran solutif terhadap problem-problem itu. Hal ini terlihat dari formasi pemikirannya yang menceminkan penyatuan kembali disintegrasi peradaban Islam. Alternatifnya adalah dengan menyatukan kembali semua mainstream pemikiran. Suhrawardi akhirnya, membangun filsafat iluminasinya di atas semua aliran pemikiran.

Suhrawardi mulanya adalah seorang paripatetik yang akhirnya berubah menjadi seorang sufi sejati. Pergeseran pemikiran tersebut tidak dipandang sebagai perseteruan, melainkan sekedar upaya penyempurnaan. Filsafat paripatetik sangat kering dari nuansa spiritual, tapi kaya dengan argument rasional. Pemaduan antara filsafat paripatetik dengan maistream sufistik adalah keharusan dalam menyempurnakan konstruksi pemikiran. Upaya penyatuan itu dilakukan demi terbentuknya formasi filsafat iluminasi. Iluminasi atau yang dalam bahasa arab disebut sebagai filsafat isyraqi.

1. Pengertian Isyraq

Kata isyraq dalam bahasa Arab berarti sama dengan kata iluminasi dan sekaligus juga cahaya pertama pada saat pagi hari seperti cahayanya dari timur (sharq). Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, keterangan, ketenangan, dan lain-lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Timur tidak hanya berarti secara geografis tetapi awal cahaya, realitas.

Dalam sistem filsafat iluminasi Suhrawardi menurunkan sejumlah istilah kunci bagi pemahaman sistem logika, epistemologi, fisika, psikologi, dan metafisika. Untuk epistemologi atau teori ilmu pengetahuan, Suhrawardi menurunkan istilah qa’idah al-isyraqiyyah, dan terhadap kandungan filsafat ia menyebut daqiqah al-isyraqiyyah. Melalui istilah ini Suhrawardi merumuskan kembali pemikiran tentang logika, epistemologi, fisika dan metafisika. Istilah lain yang diturunkan ialah musyahadah al-isyaqiyyah (penyaksian dengan pencerahan) untuk menyebut tahap terakhir pencapaian pengetahuan hakiki. Selain istilah tersebut, Suhrawardi juga menurunkan istilah idafah al-isyraqiyyah (kaitan pencerahan) untuk menguraikan hubungan tak terduga yang timbul antara subyek (maudu’) dan asas logis teori pengetahuannya.

Menurut Syayid Hossein Nasr, sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi terdiri atas lima aliran, yaitu: pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya al-Hallaj dan al-Ghazali. Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur (cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran iluminasi Suhrawardi. Kedua, pemikiran filsafat peripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagiannya tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan isyraqi. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam, yakni aliran Phithagoras, Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka. Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum Idris (
Hermes). Kelima, berdasarkan pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat.

2. Skema Sumber-sumber Pemikiran Isyraqi

Dalam bidang metafisika Suhrawardi merupakan orang pertama dalam sejarah yang menegaskan perbedaan dua corak metafisika yang jelas, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum mencakup pokok-pokok pembahasan yang baku tentang keberadaan atau kewujudan (eksistensi), kesatuan, subtansi (jauhar), eksiden, waktu, ruang dan gerak. Adapun yang termasuk dalam metafisika khusus ialah; pendekan ilmiah baru untuk menelaah masalah supra rasional (adinalar), seperti kewujudan Tuhan dan pengetahuan (al-‘Ilm), mimpi sungguhan, pengalaman pencerahan, tindakan khalqiyyah kreatif yang tercerahkan, imajinasi ahli makrifat, bukti yang nyata, dan kewujudan obyektif, ‘alam al-khyal (alam khayal) atau ‘alam al-misal (alam misal).

Salah satu ciri kekaidahan dan struktural filsafat isyraqiyyah dalam bidang metafisika yang menonjol dalah dalam hal wujud dan esensi (mahiyah). Dalam pengantar al-Talihat, Suhrawardi menulis tentang wujud dan esensi. Ia berpendirian bahwa “tidak benar partikular merupakan tambahan bagi esensinya”, karena esensi dapat dipikirkan terlepas dari wujud. Sebuah wujud dapat dipikirkan secara langsung, tanpa mengetahui apakah ia ada atau tidak pada entitas partikular yang manapun. Karena itu, wujud dan esensi itu sama (identik).

Dalam kerangka filsafat iluminasinya, pembicaraan tentang wujud tidak dapat dipisahkan dari sifat dan penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat material dan juga tidak dapat didefenisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun nonfisik, sebagai komponen yang esensial dari cahaya. Sifat cahaya telah nyata pada dirinya sendiri. Ia ada, karena ketiadaannya merupakan kegelapan. Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Segala sesuatu berasal dari cahaya yang berasal dari Cahaya segala Cahaya (nur al-Anwar). Jika tanpa cahaya semua menjadi kegelapan yang diidentifikasikan non eksistensi (‘adam). Selanjutnya “Cahaya segala Cahaya” disamakan dengan  “Tuhan”.

Bagi Suhrawardi realitas dibagi atas tipe cahaya dan kegelapan. Realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Keseluruhan alam adalah tingkatan-tingkatan penyinaran dan tumpahan Cahaya Pertama yang bersinar dimana-mana, sementara ia tetap tidak bergerak dan sama tiap waktu. Sebagaimana term yang digunakan oleh Suhrawardi, cahaya yang ditompang oleh dirinya sendiri disebut nur al-mujarrad. Jika cahaya bergantung pada sesuatu yang lain disebut nur al-‘ardi.

Pertama, cahaya dalam hal ini cahaya terdekat (nur al-aqrab) berasal dari cahaya segala cahaya. Cahaya pertama benar-benar diperoleh (yahsul). Cahaya pertama memiliki karakter: pertama, ada sebagai cahaya abstrak. Kedua, mempunyai gerak ganda; ia mencintai (yuhibbu) dan “melihat” (yushhidu) cahaya segala cahaya yang ada di atasnya, dan mengendalikannya (yaqharu) serta menyinari (ashraqa) apa yang ada dibawahnya. Ketiga, mempunyai “sandaran” dan sandaran ini mengimplikasikan sesuatu “zat” disebut barzakh yang mempunyai kondisi (hay’ah). Zan dan kondisi bersama-sama berperan sebagai wadah bagi cahaya. Keempat, mempunyai semisal “kualitas” atau sifat; ia “kaya” (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya yang lebih rendah. Dan “miskin” dalam hubungannya dengan Cahaya segala Cahaya.

Ketika cahaya pertama diperoleh, ia mempunyai langsung terhadap Cahaya segala Cahaya tanpa durasi atau “momen” yang lain. Cahaya segala Cahaya seketika itu juga menyinarinya dan begitu juga “menyalakan” zat dan kondisi yang dihubungkan dengan cahaya yang pertama.  Cahaya yang berada pada cahaya abstrak pertama adalah “cahaya yang menyinari” (nur al-sanih) dan paling reptif (menerima) diantara semua cahaya. Proses ini terus berlanjut, dan cahaya kedua menerima dua cahaya, yang satu berasal dari Cahaya segala Cahaya langsung, yang lain dari cahaya pertama. Cahaya pertama telah menerimanya dari Cahaya segala Cahaya dan berjalan langsung karena ia bersifat tembus cahaya. Hal yang sama terjadi; cahaya abstrak ketiga menerima empat cahaya; satu langsung dari Cahaya segala Cahaya, satu lagi dari cahaya pertama, dan yang lainnya dari cahaya kedua. Proses ini berlanjut terus, dan cahaya abstrak keempat menerima delapan cahaya; cahaya abstrak kelima menerima enam belas cahaya dan seterusnya. Mengenai cahaya yang berlipat ganda ini, esensi masing-masing cahaya, yaitu kesadaran diri, sebagian adalah “cahaya-cahaya pengendali” (al-anwar al-qahirah) dan sebagian lainnya adalah cahaya-cahaya pengatur (al-anwar al-mudabbirah).

3. Hirarki Cahaya

Manusia mempunyai kemampuan untuk menerima cahaya peringkat tertinggi lebih sempurna dibandingkan binatang dan tumbuhan. Manusia adalah alam sagir (mikro kosmos) yang di dalam dirinya mengandung citra alam yang sempurna dan tubuhnya membuka pintu bagi semua kejismian. Tubuh ini selanjutnya merupakan sarana bagi cahaya yang bersinar di atas semua unsur tubuh dan menyinari daya khayal (imajinasi) dan ingatan. Cahaya ini dihubungkan dengan tubuh oleh jiwa hewani, yang bertempat di jantung, dan meninggalkan badan pergi ke tempatnya yang asal, yaitu alam malakut (kerajaan besar, kekuasaan), apabila badan telah hancur dan kembali kepada unsur-unsur jasmaninya. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana manusia dapat memiliki kehendak. Menurut Suhrawardi, yang mendorong manusia berkehendak ialah cinta. Kalau kehendak terlalu menguasai jiwa maka timbullah amarah. Secara umum filsafat iluminasi yang diwakili oleh Suhrawardi dalam metafisikanya selalu disimbolkan dengan “cahaya”.

4. Metafisika dan cahaya

Inti filsafat illuminasion adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan QS. Al Nur: 35. Sedangkan Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al-Anwar. Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahi terdapat sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya. Oleh karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diri-Nya. Suhrawardi mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn sina dalam menjelaskan wajib al wujud.

Konsep terang dan gelap Suhrawardi diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal itu tidak berate bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persi, sebab pada kenyataannya terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang dan gelap dalam ajaran Zoroaster dan Suhrawardi.

Nur al-Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahay disini bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Suhrawardi, gerakan itulah yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Dalam hal ini Suhrawardi menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendak-Nya dan pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta.

Dalam pemikiran falsafi Suhrawardi, unsure cinta merupakan modal dari kedinamisan gerak semua makhluk. Semua wujud dan kelangsungan pergerakan makhluk tergantung dari proses penyinaran dari Nur al-Anwar. Penyinaran adalah kunci sentral segala pergerakan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta menyandarkan wujudnya pada penerangan abadi-Nya.

Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi tidaklah sama dengan teori emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik. Menurutnya, pancaran  yang dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh, seribu akan tetapi bisa mencapai jumlah yang banyak.

Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga vertical, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari, semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat tergantung pada intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.

Salah satu ciri kekaidahan dan struktural filsafat isyraqiyyah dalam bidang metafisika yang menonjol dalah dalam hal wujud dan esensi (mahiyah). Dalam pengantar al-Talihat, Suhrawardi menulis tentang wujud dan esensi. Ia berpendirian bahwa “tidak benar partikular merupakan tambahan bagi esensinya”, karena esensi dapat dipikirkan terlepas dari wujud. Sebuah wujud dapat dipikirkan secara langsung, tanpa mengetahui apakah ia ada atau tidak pada entitas partikular yang manapun. Karena itu, wujud dan esensi itu sama (identik).

Dalam kerangka filsafat iluminasinya, pembicaraan tentang wujud tidak dapat dipisahkan dari sifat dan penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat material dan juga tidak dapat didefenisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun nonfisik, sebagai komponen yang esensial dari cahaya. Sifat cahaya telah nyata pada dirinya sendiri. Ia ada, karena ketiadaannya merupakan kegelapan. Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Segala sesuatu berasal dari cahaya yang berasal dari Cahaya segala Cahaya (nur al-Anwar). Jika tanpa cahaya semua menjadi kegelapan yang diidentifikasikan non eksistensi (‘adam). Selanjutnya “Cahaya segala Cahaya” disamakan dengan  “Tuhan”.

5. Metode Meraih Pancarahan Tuhan (Isyraq)

Suhrawardi mengemukakan beberapa metode untuk meraih pencerahan Tuhan (isyraq), yang mesti di tempuh oleh setiap orang dalam proses mendapatkan pencerahan: Pertama tahapan persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahapan ini dimulai dengan aktivitas-aktivitas mengasingkan diri (uzlah) paling tidak selama empat puluh hari, bersiap diri  untuk menerima nur ilahiah dan seterusnya, yang hampir sama dengan kegiatan asketis (menjauhi dunia) dan sufistik, hanya saja disini tidak ada konsep ahwal dan maqamat. Melalui aktivitas seperti ini dengan kekuatan  intuitif yang ada pada dirinya  yang disebut dengan cahaya  Tuhan (al-bariq al ilahi) seseorang mengetahui realitas eksistensi dirinya dan mengenal kebenaran intuitifnya melalui ilham dan visi (musyahadah wa mukasyafah) oleh karena itu hal ini terdiri dari 1.aktivitas tertentu, semisal zikir dan lainnya, 2.kemampuan menyadari intuisinya sendiri sampai mendapatkan cahaya ilahiah. 3.ilham.

Tahap pertama membawa seseorang ke tahap kedua yaitu tahap penerimaan dimana cahaya tuhan memasuki wujud manusia. cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian cahaya penyingkap (al-anwar al-saniah) dan melalui cahaya tersebut pengetauhan yang berfungsi sebagai fondasi ilmu sejati diperoleh.

Tahap ketiga adalah mengkontruksi pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisis diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digunakan dalam demontrasi (burhan). Sehingga darinya bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalaman itu sendiri sudah berakhir. hal yang sama dapat diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan indrawi, jika berkaitan dengan pengetauan iluminatif.

Tahap ke empat adalah pen-dokumentasian dalam bentuk tulisan atas pengetauan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya,dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.

Dengan demikian, pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif saja, melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan  keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih  segala sesuatu yamg tidak tergapai oleh kekuatan rasio sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.

6. Konsep Tasawuf

Tasawuf yang di bangun oleh Suhrawardi menggunakan konsep al-Isyraq. Ia merupakan tipe tasawuf falsafi yang paling orisinil di antara konsep-konsep tasawuf yang sealiran. Kata al-Isyraq mempunyai banyak arti antara lain: terbit, bersinar atau memancarkan cahaya. Isyraqi berkaitan dengan cahaya, yang pada umumnya digunakan sebgai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan, dan hal-hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan, yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua hal yang  membuat manusia menderita. Kata Isyraq dalam bahasa english mempunya arti Illumination.

Menurut Suhrawardi, sumber dari segala yang ada adalah Cahaya Yang Mutlak, yang ia sebut dengan Nur al-Anwar. Paham al-Isyraq ini menyatakan, bahwa alam ini diciptakan melalui penyinaran atau illuminasi. Kosmos ini terdiri dari susunan bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Cahaya yang tertinggi sebagai sumber dari segala cahaya, yanga ia namakan Nurul Anwar atau Nurul A’zham, dan inilah Tuhan yang azali. Manusia berasal dari Nurul Anwar yang diciptakan melalui pancaran cahaya dengan proses yang hampir sama dengan emanasi atau al-faidh yang di kembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan Tuhan merupakan arus bolak-balik. Artinya, ada hubungan yang bersifat dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas yang kemudian terjadilah ittihad (menyatunya manusia dengan Tuhan). Konsep tasawuf Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi.

Bagi suhrawardi, apa yang disebut eksistensi hanya ada dalam pikiran. Gagasan umum maupun konsep tidak terdapat pada realitas. Sedangkan yang benar-benar ada atau realitas yang sesungguhnya hanyalah esensi-esensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya inilah yang nyata dengan dirinya sendiri karena ketidak adaanya berarti kegelapan yang tidak dikenali, namun demikian cahaya mempunyai hierarki- hierarki dari yang paling atas sampai terbawah. Hal ini sama dengan filsafat emanasi dalam peripatetisme. Hanya saja dalam emanasi hierarki-hierarki atau tingkatan-tingkatan itu diidentikkan dengan cahaya.

Dalam pemahaman tentang hierarki- hierarki wujud, semakin dekat pada sumber cahaya, maka intensitas cahaya suatu tingkatan wujud akan lebih banyak. Semakin jauh dari sumber cahaya maka akan lebih sedikit intensitas cahaya yang diterimanya. Yakni wujud yang lebih dekat kepada Tuhan sebagai sumber cahaya akan lebih banyak menerima pancaran dari-Nya, sementara wujud yang jauh dari-Nya semakin lemah intensitas cahayanya. Dan dengan demikian makin rendah tingkatan dalam hierarki keberadaannya.

Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya, Ia adalah Allah. Dalam pemaparan teori penciptaan, Suhrawardî sepakat dengan pandangan kaum Peripatetik yang meyakini bahwa Zat manunggal hanya memancarkan pada satu bentuk yang tunggal. Nur al-Anwar yang ditegaskan sebelumnya sebagai sumber penciptaan hanya memancarkan cahayaNya pada satu cahaya murni, yang juga memiliki sifat kesamaan dengan Nur al-Anwar. Pemancaran cahaya ini diakibatkan oleh aktivitas Nur al-Anwar yang senantiasa memancarkan cahaya dari substansinya. Dan sebenarnya mata rantai dari aktivitas Nur al-Anwar inilah, yang dalam pemikiran kelompok Iluminasioner mendasari perannya (Nur al-Anwar) sebagai pencipta alam semesta.

Sebagai hasil pemancaran cahaya substansinya terjadilah satu pelimpahan atau emanasi pada Cahaya Murni pertama dan dibarengi dengan satu materi alam abadi (yang disebut dengan Huyuli) yang menjadi materi dasar pembentuk alam semesta. Cahaya Murni pertama ini, seperti Nur al-Anwar, dicirikan oleh aktivitasnya yang serupa, yaitu menerima pancaran cahaya Nur al-Anwar dan memancarkan Cahaya-Nya kembali dari substansinya. Tapi walaupun demikiran keduanya tetap memiliki perbedaan fundamental, baik dalam zat ataupun strata fungsionalnya.

Suhrawardi menjelaskan dalam satu contoh sederhana yang mengambarkan proses pemancaran Nur al-Anwar pada Cahaya Murni pertama. Nur al-Anwar digambarkan sebagai Matahari sedangkan Cahaya Murni-pertama adalah cermin, pancaran sinar matahari yang tak beraturan dalam sebuah cermin, yang dengannya terpantul sebuah cahaya yang berbeda dari cahaya sebelumnya. Keduanya sama-sama memancarkan cahaya, tetapi cahaya yang dipancarkan cermin tidaklah sama dengan cahaya Matahari, karena cermin hanyalah perantara yang menerima cahaya yang besar dan memantulkan cahaya sesuai kemampuanny.

Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini, mengingatkan kepada sebuah firman Allah dalam surat al-Nur Ayat 35, artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.

7. Epistemologi

Dalam epistemologinya, Suhrawardi membahas secara panjang lebar masalah pengetahuan, namun pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan satu teori visi. Ia menganggap cara nalar dan cara intuisi sebagai pasangan yang saling melengkapi, karena nalar tanpa intuisi dan iluminasi tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis.

Menurut Suhrawardi, jika kita hendak dapat mendalami secara lengkap sisi intelektual murni falsafah transcendental, maka harus memahami secara mendalam filsafat Aristoteles, Logika, Matematika dan Sufisme. Kita harus membebaskan sepenuhnya pikiran kita dari prasangka dan dosa, sehingga pikiran kita secara bertahap mampu  mengembangkan indera batin kita, yang mampu mengoreksi apa yang dimengerti oleh pikiran hanya sebagai teori. Ciri yang paling nampak dalam falsafah Isyraqi Suhrawardi adalah bahwa akal tanpa bantuan Dzauq maka tidak dapat dipercaya, karena Dzauq berfungsi sebagai penyerap misterius atas segala esensi dan membuang skeptisisme.Namun pengalaman spiritual itu pun perlu dirumuskan dan disistematisasikan oleh pikiran yang logis. Jadi setiap bentuk dari pengetahuan, akan bertujuan akhir pada iluminasi dan ma’rifat (gnosis), yang ditempatkan oleh Suhrawardi pada puncak hierarki pengetahuan.

8. Metode Mendapatkan Pengetahuan

Selanjutnya, berdasarkan atas perbedaan metode untuk menghasilkan tingkat validitas keilmuan ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan: (1) Para pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran berikutnya memajukan diri untuk membahas filsafat; (2) para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian (burhani) tetapi masih asing dengan pengetahuan yang sesungguhnya, seperti al-Farabi dan Ibn Sina; (3) para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari; (4) para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap terakhir ini, pengetahuan dan kualitas individu meningkat pada posisi yang dinamakan sebagai kelompok ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri masuk dalam tingkatan ini.

9. Kosmologi

Dalam pandangannya tentang kosmologi, Suhrawardi mengembangkan prinsip emanasi menjadi teori pancaran (iluminasi, isyraqi). Menurutnya, pancaran cahaya bersumber dari sumber pertama yang ia sebut Nur al-Anwar. Pancaran dari sumber pertama akan berjalan terus sepanjang sumbernya tetap eksis. Konsekuensinya alam semesta akan selalu ada selama Tuhan ada. Namun menurut Suhrawardi, Tuhan sangat berbeda dengan alam.Ia mengumpamakan hubungan antara lampu dan sinarnya, lampu sebagai sumber cahaya jelas berbeda dengan sinar yang dihasilkannya.

Dalam teori emanasinya, Suhrawardi membaginya menjadi dua, yaitu:

a. Adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur al-Anwar. Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshul) namun berbeda pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan: (a) ada sebagai cahaya abstrak, (b) mempunyai gerak ganda, mencintai (yuhibbuh) serta melihat (yusyahiduh) yang di atasnya dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah) apa yang ada di bawahnya. (c) mempunyai atau mengambil “sandaran” di mana sandaran ini mengimplikasaikan sesuatu, seperti “zat” yang disebut barzah, dan mempunyai “kondisi” (hay’ah); zat dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai “wadah” bagi cahaya. (d) mempunyai sesuatu semisal “kualitas” atau sifat, yakni “kaya” (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya di bawahnya dan “miskin” (fakir) dalam kaitannya dengan cahaya di atas. Ketika cahaya pertama melihat Nur al-Anwar dengan berlandaskan dengan cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain. Sebaliknya ketika cahaya perrtama melihat kemiskinannya, ia memperoleh “zat” dan “kondisi”nya sendiri. proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan dunia dasar (elemental world).

b. Proses ganda iluminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nur al-Anwar tanpa durasi dan pada “momen” tersendiri Nur al-Anwar menyinarinya sehingga “menyalakan” cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungkan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini pada prosesnya menerima tiga cahaya, dari Nur al-Anwar secara langsung, dari cahaya pertama dan Nur al-Anwar yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah cahaya meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.
Lebih lanjut lagi mengenai konsep kosmologi Suhrawardi, ia membagi alam kepada empat tingkatan, yaitu:

a. Alam cahaya dominator (‘alam al-anwar al-qahirah), yaitu alam cahaya-cahaya mujarradad al-‘aqliyyah yang terbebas dari bentuk sama sekali, mereka adalah pasukan Allah dan para malaikat yang dekat dengan Allah serta para hamba yang ikhlas (mukhlish)

b. Alam cahaya-cahaya pengatur (‘alam al-anwar al-mudabbirah al-isfahbadiyyah al-falakiyah wa al-insaniyyah)

c. Alam bentuk (‘alam al-ajsam) yang terdiri atas dua alam barzakh (barzakhiyyani), yaitu alam materi (alam indrawi, ‘alam al-hissi) salah satunya adalah alam barzakh falak-falak (barzakhiyyah al-falak) yang di dalamnya terdapat bintang-bintang (al-kawakib) sedangkan yang lainnya adalah alam barzakh anasir-anasir yang di dalamnya terdapat unsure-unsur gabungan (al-murakkabat)

d.Alam citra dan alam imajiner (‘alam al-mitsal wa al-khayal) atau disebut juga alam bayangan murni. Di dalam alam ini akan terlihat bagaimana jasad dibangkitkan kembali dan segala yang pernah dijanjikan melalui risalah kenabian.

Begitulah pembagian ataupun pengelompokan alam menurut Suhrawardi. Namun semua fenomena alam yaitu hujan, awan, halilintar, meteor, guntur, adalah berbagai kerja dari prinsip imanen gerak ini, dan diterangkan oleh operasi langsung dan tidak langsung Cahaya Pertama atas segala sesuatu, yang satu sama lainnya berbeda dalam kapasitas penerimaan banyak-sedikitnya penerangan. Singkatnya, Alam Semesta ialah suatu hasrat yang membawa suatu kristalisasi kerinduan kepada cahaya.

Sumber : Magister Blog

2 komentar untuk "Biografi Karya dan Pemikiran Suhrawardi Sang Filsuf"

  1. Ka maaf mau tanya, kalo tokoh pendukung pemikiran suhrawardi siapa aja ya?
    Terimakasih ka��

    BalasHapus
  2. Kak maaf mau tanya sumber buku nya dri buku apa ? Karya siapa?

    BalasHapus